Sat. Dec 20th, 2025

Kepastian Hukum dan Transparansi Penanganan Dumas di Polresta Samarinda, Ini kata Koordinator Kuasa Hukum PW Muhammadiyah

Jaidun: bagaimana negara hadir melalui aparat penegak hukum untuk memberikan kepastian

Jaidun

SAMARINDA, IKNPOST.ID | Penanganan pengaduan masyarakat (Dumas) dugaan penyerobotan tanah milik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Timur kini menjadi sorotan, bukan semata karena objek perkaranya, melainkan karena belum adanya kepastian hukum dan transparansi penanganan laporan. Tim kuasa hukum menilai keterbukaan informasi melalui SP2HP merupakan indikator penting tata kelola penegakan hukum yang akuntabel.

Koordinator Tim Kuasa Hukum Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, Assoc. Prof. Dr. Jaidun, S.H., M.H., menjelaskan bahwa pengaduan masyarakat telah disampaikan kepada Polresta Samarinda pada tanggal 14 November 2025, namun hingga saat ini pelapor belum memperoleh informasi resmi mengenai perkembangan penanganannya dan bahkan belum ada sama sekali undangan Klarifikasi untuk klien Pengadu, dalam hal ini PW Muhammadyah Kalimantann Timur dari pihak Kepolisian Resort Kota Samarinda.

“Substansi persoalan ini tidak semata-mata soal sengketa tanah. Yang lebih mendasar adalah bagaimana negara hadir melalui aparat penegak hukum untuk memberikan kepastian hukum dan pelayanan yang transparan kepada masyarakat,” ujar Jaidun, dalam siaran pers yang diterima media ini Sabtu (20/12/2025)

Menurutnya, setelah lebih dari 24 hari sejak Dumas diajukan, pihaknya telah mengirimkan surat permohonan SP2HP pada 8 Desember 2025 kepada Kasat Reskrim Polresta Samarinda. Namun, hingga 10 hari kemudian, belum terdapat jawaban atau penjelasan resmi. Karena tidak adanya respons tersebut, kami kembali menyampaikan permohonan SP2HP untuk kedua kalinya melalui surat tertanggal 18 Desember 2025. Langkah ini kami tempuh semata-mata untuk memastikan bahwa laporan masyarakat benar-benar diproses sesuai mekanisme hukum yang berlaku,” tegasnya.

“SP2HP merupakan instrumen akuntabilitas. Ketika pelapor/Pengadu tidak memperoleh informasi perkembangan perkara dalam jangka waktu yang patut, maka yang muncul adalah ketidakpastian hukum. Ini bukan hanya merugikan klien kami selaku organisasi/Perserikan Islam Terbesar Kedua di Indonesia, tetapi juga berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem penegakan hukum,” jelasnya

Jaidun yang juga mantan aktivis ini menekankan bahwa, permintaan SP2HP tidak boleh dipahami sebagai tekanan terhadap proses penyidikan, melainkan sebagai hak pelapor yang dijamin oleh regulasi internal Kepolisian dan bagian dari prinsip good governance dalam penegakan hukum.

“Penegakan hukum yang modern tidak hanya diukur dari penindakan, tetapi juga dari keterbukaan, akuntabilitas, dan kemampuan institusi menjelaskan apa yang sedang dikerjakan kepada publik,” katanya.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa perkara ini menyangkut aset tanah milik Perserikatan Muhammadyah sebagai organisasi kemasyarakatan, sehingga kepastian hukum atas penanganannya memiliki dimensi kepentingan publik yang lebih luas.

“Kami tetap menghormati kewenangan penuh kepolisian dalam menangani perkara. Namun kami berharap ada respons yang profesional dan proporsional, agar prinsip kepastian hukum tidak berhenti sebagai jargon, melainkan benar-benar dirasakan oleh masyarakat,” pungkas Jaidun.

Koordinator Tim Kuasa Hukum PW Muhammadiyah, Assoc. Prof. Dr. Jaidun, S.H., M.H., menilai bahwa persoalan ini juga harus dilihat dari perspektif akses keadilan bagi masyarakat luas.

“Jika organisasi sebesar Persyarikatan Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, masih harus menghadapi ketidakpastian dalam memperoleh informasi perkembangan laporan hukumnya, maka kondisi ini patut menjadi refleksi bersama. Terlebih lagi bagi masyarakat kecil yang memperjuangkan hak atas tanahnya yang diduga diserobot pihak lain,” ujar Jaidun.
Menurutnya, keterbatasan informasi dan lambannya kepastian hukum berpotensi memperlebar jarak antara sistem penegakan hukum dan masyarakat pencari keadilan.

“Isu ini bukan semata-mata soal siapa pelapornya, tetapi soal bagaimana negara menjamin setiap warga, tanpa kecuali, memperoleh perlakuan yang adil, transparan, dan setara di hadapan hukum,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa SP2HP merupakan instrumen dasar perlindungan hak pelapor, sehingga pengabaian terhadap mekanisme tersebut berpotensi melemahkan prinsip due process of law dan good governance dalam penegakan hukum.

“Kami berharap peristiwa ini menjadi momentum evaluasi bersama, agar prinsip kepastian hukum tidak hanya dinikmati oleh segelintir pihak, tetapi benar-benar dirasakan oleh seluruh masyarakat,” pungkasnya. (AZ)

About The Author

Bagikan

By K

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *