Thu. Jul 3rd, 2025
Ilustrasi PT. PLN

JAKARTA, IKNPOST – Pengusutan kasus dugaan korupsi di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) oleh Kortas Tipiko Polri ditandai dengan pemeriksaan terhadap jajaran petinggi PLN Pusat yang dilakukan di awal Februari 2025. Wakil Kepala Kortastipidkor Polri Brigadir Jenderal Arief Adiharsa mengonfirmasi pengusutan kasus di PLN masih tahap awal.

Polri memfokuskan pengusutan pada proyek pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kalimantan Barat yang telah terbengkalai sejak tahun 2016 lalu. 

Informasi yang diperoleh Monitorindonesia.com, bahwa proyek tersebut diduga meraup kerugian negara sebesar Rp 1,2 Triliun. Selain PLTU yang terbengkalai di Kalimantan Barat, Kortastipidkor Polri juga tengah melakukan penelusuran terhadap dua perkara lainnya yang masih bekesinambungan dengan PLN.

Dikethaui bahwa pada tahun 2008 lalu, PLN mengadakan lelang proyek PLTU 1 Kalbar 2×50 MW dengan sumber pendanaan dari PT PLN (persero). Dalam lelangan proyek tersebut, KSO BRN memenangkan lelang dan mendapatkan proyek tersebut.

Meskipun diduga KSO BRN tidak memenuhi persyaratan dalam tahap prakualifikasi, evaluasi penawaran administrasi dan teknis dalam proses pelelangan, namun penandatanganan kontrak tetap terjadi. Kontrak sebesar USD 80 juta dan Rp507 miliar (sekitar Rp1,2 triliun dengan kurs saat ini) resmi ditandatangani pada tahun 2009 oleh RR selaku Dirut PT BRN dengan FM selaku Dirut PT PLN (persero).

Namun, PT BRN kemudian mengalihkan proyek tersebut kepada pihak ketiga, yaitu PT PI dan QJPSE yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang energi dari Tiongkok. Adanya kendala satu dan lain hal yang akhirnya mengakibatkan proyek tersebut akhirnya gagal dan terbengkalai sejak 2016.

Selain PLTU 1 Kalbar, Kortastipidkor Polri juga sedang menelusuri tiga perkara dugaan kasus korupsi yang melibatkan Perusahaan Listrik Negara tersebut.

Pengusutan ini ditandai dengan kabar adanya pemeriksaan terhadap para pejabat PT PLN pusat pada Senin (3/2/2025) lalu. Namun Arief masih belum membeberkan informasi lebih jauh konstruksi dugaan tindak pidana korupsi tersebut maupun pihak-pihak yang telah dimintai keterangan lebih lanjut

“Belum bisa saya konfirmasikan sekarang,” kata Arief.

Dalam kesempatan lain, Arief kepada wartawan menyatakan bahwa proyek PLTU Kalbar I sarat terjadi bancakan sejak proses perencanaan. Penyelidikan yang berlangsung sejak 2024 menemukan adanya tindakan melawan hukum sehingga pembangunannya mangkrak. 

Padahal, anggaran negara melalui PLN yang sudah dikeluarkan mencapai Rp 1,2 triliun, dengan rincian Kontrak pembangunan senilai US$ 80 juta dan Rp 507 miliar.

Pangkal masalah bancakan terjadi saat proses lelang yang memenangkan konsorsium KSO BRN. Uang triliunan mengalir ke korporasi itu setelah Direktur PLN kala itu, Fahmi Mochtar menandatangani kesepakatan pada 2009. Penyidik menilai direksi PLN seolah tidak mengetahui latar belakang pemenang lelang. 

“Dipaksakan korporasi itu menang, padahal temuan kami mereka tidak memenuhi syarat prakualifikasi serta evaluasi administrasi dan teknis,” kata Arief.

Menurut Arief, perusahaan itu tidak memiliki latar belakang membangun PLTU berkapasitas besar seperti PLTU Kalbar I yang dirancang berdaya 2×50 MW. 

Tidak mampunya menggarap proyek, KSO BRN lantas mengalihkan pengerjaan ke dua perusahaan asal Tiongkok: PT PT PI dan QJPSE. “Saat pengalihan proyek ini yang memperkuat adanya dugaan korupsi dari proses lelang yang sengaja memenangkan satu perusahaan,” papar Arief. 

Meskipun sudah beralih tangan ke perusahaan Tiongkok, nyatanya proyek tak juga beres sebelum 2014. Penyidik menemukan bukti bahwa proyek dalam status stagnan sejak 2016. 

Perkembangan proyek tak menunjukkan tanda-tanda penyelesaian, meski sudah diberi waktu perpanjangan sebanyak 10 kali. Catatan keuangan KSO BRN pun dipermasalahkan lantaran tidak menampilkan laporan perusahaan pada proses pengajuan lelang. 

Setelah dicek, ternyata akumulasi laba bersih korporasi pada 2006-2007 tidak memenuhi persyaratan sebagai peserta lelang proyek, yakni hanya Rp 7 miliar. “Jadi, penyidik pada kesimpulan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang dalam proses lelang dan pengerjaan proyek,” beber Arief.

Lantas apakah dugaan korupsi di PLTU Kalbar I satu-satunya yang diusut kepolisian. Kata Arief ada kasus bancakan lain yang terjadi di proyek PLN. Total nilainya pun mencapai triliunan. “PLTU tidak hanya satu dan ada kasus di luar itu (PLTU),” katanya.

Sementara jika merujuk pada kasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) dalam pengusutan kasus korupsi pembangkit tenaga listrik berkapasitas 100 MW itu. 

Tak hanya pembangunan PLTU Kalbar I yang berlokasi di Kabupaten Mempawah, namun BPK juga menemukan indikasi penyimpangan serupa pada proyek PLTU Kalbar II di Kabupaten Bengkayang.

Dalam Ikhtisar LHP semester II 2016, disebutkan bahwa PLN belum mampu merencanakan secara tepat dan belum mampu secara efektif menjamin kesesuaian dengan ketentuan dan kebutuhan teknis yang ditetapkan serta diperoleh dengan harga yang wajar atas pelaksanaan proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW. 

Simpulan tersebut didasarkan atas kelemahan-kelemahan sistem pengendalian intern dan adanya ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan proyek.

Pengendalian intern yang dimaksud mulai dari proses perencanaan yang tidak memadai. Auditor negara menemukan desain bangunan pelindung (jetty) pada PLTU Kalbar I tidak memperhatikan alur pelayaran Sungai Kapuas, sehingga harus didesain ulang yang memakan waktu dan anggaran tambahan. 

BPK menyimpulkan terdapat peningkatan biaya yang harus dikeluarkan PLN atas perubahan atau penambahan item pekerjaan meliputi pekerjaan di luar lingkup kontrak, pekerjaan yang seharusnya sudah diakomodasi dalam lingkup kontrak, serta potensi tambahan biaya atas pengajuan klaim kontraktor.

Akibatnya, progres pembangunan PLTU diam di tempat karena masalah perencanaan yang dianggap serampangan. “Pembangunan PLTU Kalbar 2 terhenti (mangkrak) serta PLTU Kalbar 1 berpotensi mangkrak yang mengakibatkan pengeluaran PLN untuk membangun PLTU tersebut tidak memberikan manfaat sesuai dengan rencana,” petik laporan BPK sebagaimana dilihat Monitorindonesia.com, Minggu (16/3/2025).

Tak hanya itu saja, peralatan utama dan peralatan pelengkap proyek PLTU Kalbar 1 dan 2 senilai Rp 37,07 miliar dan US$1,99 juta diletakkan di area terbuka dan tanpa perlindungan. 

Dampaknya, berpotensi tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan pembangunan pembangkit. Ujungnya, memperlambat perkembangan proyek. Ketika terbukti mekanisme pembangunan yang tak berjalan sesuai kontrak, PLN justru nihil mengenakan denda kepada kontraktor. Bagi auditor BPK, hal itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Kutipan Ikhtisar LHP semester II 2016

Selain di PLTU Kalbar I dan II, BPK juga mendapati penyimpangan pembangunan pembangkit listrik di sejumlah daerah. Pembangunan PLTU Tanjung Balai Karimun, PLTU Ambon, PLTU 2 NTB Lombok juga mangkrak. 

Jika diakumulasikan, total Rp 609,54 miliar dan US$ 78,69 juta. Ada juga tujuh PLTU proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW yang terlambat diselesaikan senilai Rp 449,52 miliar dan US$ 30,63 juta. 

Itu mulai dari PLTU Tanjung Balai Kari mun, PLTU NTB 2 Lombok, PLTU Kalbar 1, dan PLTU Kalbar 2, yang senilai Rp 92,58 miliar dan US$10,48 juta. Juga terjadi keterlambatan penyelesaian pekerjaan PLTU Tanjung Awar-Awar unit 2 sebesar Rp 74,75 miliar dan US$ 24,16 juta. 

Pembangunan PLTU di bagian tengah Indonesia seperti PLTU NTB 2 mengalami kendala serupa, yakni terlambat diselesaikan. PLN lantas harus mengeluarkan biaya bahan bakar untuk pembangkit sebesar Rp 342,21 miliar, yang berakibat pada kerugian keuangan perusahaan.

Secara akumulasi, kekurangan penerimaan denda atas keterlambatan penyelesaian pembangunan proyek PLTU sebesar Rp 704,87 miliar dan US$ 102,26 juta. 

Ditambah pemborosan keuangan PLN senilai Rp 871,75 miliar dan US$ 8,68 juta. Atas tidak terarahnya pembanguna proyek PLTU, PLN juga mengalami kerugian sebesar US$ 27,30 juta dan Rp 326,88 miliar. 

“PLN harus menanggung biaya tambahan atas penambahan/ perubahan pekerjaan serta menyediakan dana investasi sebesar US$137,56 juta dan Rp555,97 miliar,” lanjut laporan BPK.

Auditor negara menegaskan pihak direksi sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas tidak beresnya pelaksanaan proyek di sejumlah PLTU. 

“Para pelaksana kegiatan kurang cermat dan lalai dalam melaksanakan pekerjaan serta tidak tegas menerapkan ketentuan kontrak terhadap kontraktor terkait dengan pengenaan denda keterlambatan dan penyelesaian pekerjaan. Pejabat yang bertanggung jawab kurang cermat dan belum sepenuhnya memperhatikan ketentuan yang berlaku dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya,” petik laporan BPK.

Proyek pembangunan 10.000 Megawatt yang membangun 35 pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU diduga kuat terjadi korupsi. Satu di antara kasus bancakan terjadi pada proyek pembangunan PLTU Kalimantan Barat I. 

Musababnya, PLN sebagai BUMN yang menggarap proyek itu tak kunjung membereskan pembangunan pembangkit listrik hingga waktu yang ditetapkan. 

Pun demikian, Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri sudah mencium adanya patgulipat antara perusahaan pelat merah itu dan kontraktor pemenang lelang yang berujung kerugian negara. Bahwa puluhan proyek PLTU yang memiliki kapasitas ribuan MW dirancang masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada awal periode pertama jabatannya. 

Berbekal Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2006, SBY memasukkan mega proyek ini dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Proyek PLTU tersebar paling banyak di luar Pulau Jawa, dan digadang-gadang sebagai upaya pemerintah memeratakan aliran listrik di Indonesia dengan rasio elektrifikasi 96,60 persen.

Puluhan PLTU pun mulai dibangun satu tahun berselang setelah Perpres diteken. Kebanyakan proyek dirancang rampung sebelum periode 2014. Ada beberapa yang berujung peresmian, seperti empat PLTU di Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Namun masih banyak proyek pembangkit listrik yang masih jauh dari kata selesai.

Sementara dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan atas Pengelolaan Pendapatan, Biaya, dan Investasi dalam Penyediaan Tenaga Listrik tahun 2022 pada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), anak perusahaan dan instansi terkait, auditor negara menemukan sejumlah PLTU masih belum bisa dimanfaatkan.

Pembangunan PLTU Kota Baru 2x7MW terkendala mengakibatkan investasi yang sudah dikeluarkan belum dapat dimanfaatkan. hal ini mengakibatlkan peningkatan biaya penyelesaian minimal sebesar Rp 320.719.731.595,00 dan hilangnya potensi penghematan BPP TL tahun 2015-2025 sebesar Rp 399.076.211.133,00. 

PLTU IPP Ketapang 2x6MW tidak beroperasi sehingga PLN harus menggunakan PLTD untuk memasok system Ketapang dan meningkatkan BPP TL tahun 2021 – 2022 sebesar Rp 260.291.019.300,00. 

Ketidakmampuan kontraktor pelaksana untuk menyelesaikan proyek dan ketidaksesuaian spesifikasi batu bara berperan dalam keterlambatan pelaksanaan proyek PLTU Sulsel Barru-2 sehingga PLN Berpotensi kehilangan kesempatan menghemat BPP TL sebesar Rp 435.315.888.438,00 dan menanggung klaim biaya Rp 206.616.173.863,00.

Kutipan Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan atas Pengelolaan Pendapatan,Biaya, dan Investasi dalam Penyediaan Tenaga Listrik tahun 2022 pada PT PLN
PLTU Ombilin tidak mampu beroperasi optimal, sehingga PLN keilangan kesempatan enghemat BPP TL tahun 2022 minimal sebesar Rp 129.668.709.336,00. 

Sementara itu, akibat adanya pembangunan pembangkit listrik yang terkendala, sehingga PLN menanggung ketidakhematan BPP minimal sebesar Rp 122.163.372.981,00 per tahun. Kehilangan pendapatan atas pencairan jaminan pelaksanaan sebesar Rp 3.969.054.486,00 serta menanggung tambahan biaya untuk melanjutkan pembangunan sebesar Rp 357.596.924.273,00.

Sebenarnya dalam laporan tersebut, tidak hanya terdapat temuan terkait PLTU saja. Dalam laporan tersebut BPK mencatat ada 27 temuan yang terbagi dalam dua segmen. 

Hasil pemeriksaan kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik PLN TA 2022 terdapat 18 temuan dan hasil pemeriksaan subsidi listrik dan dana kompensasi tenaga listrik TA 2022 terdapat 9 temuan.

Anomali yang terjadi di PLN sebenarnya tidak bisa dianggap remeh. Sebagai perusahaan yang memonopoli sektor kelistrikan, mestinya PLN bisa menjadi perusahaan yang moncer. 

Faktanya, meskipun masih bisa meraih laba, namun kinerjanya masih jauh dari harapan. Temuan BPK tahun 2024 menunjukkan kalau kinerja PLN masih jauh dari perilaku good corporate governance. 

Besarnya volume bisnis PLN justru membuka peluang besar untuk dikorupsi, tak heran jika PLN lantas menjadi langganan kasus korupsi yang dibongkar oleh aparat penegak hukum nyaris tiap tahun.

Perbaikan menyeluruh pada PLN mendesak untuk segera dieksekusi. Terutama di sektor pengawasan. PLN tidak bisa lagi menjadi sapi perahan kepentingan politik. Korupsi di tubuh PLN ini dampaknya langsung dirasakan oleh rakyat, harga listrik dan pelayanan. Kasus korupsi yang kini tengah ditangani Polri mesti menjadi bahan refleksi.

Penting publik ketahui bahwa bukan sekali saja PT PLN tersandung dugaan korupsi berujung petingginya ikut ‘kesetrum’ dan berakhir dibui akibat terlalu jauh terlibat dan kemudian terbukti korupsi. Dirut PLN yang sempat tersangkut dugaan rasuah adalah Eddie Widiono, Dahlan Iskan, Nur Pamudji dan Sofyan Basir.

Ketegasan dan kecerdasan penegak hukum tentunya dengan integritas yang terukur kini menjadi tumpuan harapan rakyat untuk bisa mendorong pembersihan di tubuh perusahaan listrik negara itu.

Pemeriksaan terhadap petinggi PLN sangat diperlukan agar kasus tersebut terang benderang.

Tarif listrik mahal

Seblumnya diberitakan bahwa sejumlah warganet mengeluhkan tagihan listriknya melonjak setelah program diskon tarif listrik 50 persen berakhir pada akhir Februari 2025. Keluhan itu disampaikan melalui akun media sosial X.

“Disini apakah ad kelonjakan tagihan listrik jg stelah subsidi yg 50 persen itu? kaget bgt, stelah promo subsidi abis, tagihan bulan ini jadi 2x lipat pembayarannya,” tulis akun X @lagigabu***, Rabu (3/4/2025).

Pengunggah menyampaikan bahwa tagihan listriknya sebelum program subsidi listrik adalah sekitar Rp 280.000 sampai Rp 320.000. Saat adanya subsidi listrik, tagihannya hanya Rp 140.000 per bulan. Namun, setelah subsidi berakhir, ia mengaku tagihannya menjadi Rp 611.000 per bulan.

Keluhan juga dituliskan oleh akun X lainnya, @avenoor*** pada Jumat (4/4/2025). “Tarif naik hampir 50 persen dari harga biasa padahal penggunaan berkurang awkwkwk apa-apaan ini woi @pln_123,” tulis dia.

Vice President Komunikasi Korporat PT PLN (Persero), Grahita Muhammad mengatakan, tarif listrik pada triwulan kedua 2025 tidak mengalami perubahan atau tetap.

“Per tanggal 1 Maret 2025 atau setelah berakhirnya periode diskon tarif listrik 50 persen, maka tarif listrik kembali normal sesuai penetapan pemerintah. Untuk Triwulan kedua 2025 ini tarif listrik tetap tidak mengalami perubahan,” ujar Grahita saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (5/4/2025).

Terkait keluhan tagihan listrik pelanggan PLN yang disebut naik dua kali lipat, Grahita meminta masyarakat untuk memastikan pola pemakaian listrik masing-masing. “Adanya lonjakan tagihan listrik bisa disebabkan oleh pemakaian listrik yang meningkat,” kata dia.

Selain itu, Grahita menjelaskan, bagi pelanggan pascabayar yang ingin mengetahui riwayat penggunaan listriknya dapat mengaksesnya lewat aplikasi PLN Mobile.

PLN tak punya saingan, kok bisa punya utang?

Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR, Selasa (3/12/2024) lalu menyatakan berhasil mengurangi utang hingga Rp55 triliun dalam kurun waktu tiga tahun. 

Utang PLN turun dari Rp450 triliun pada 2020 menjadi Rp396 triliun pada 2023. Sementara itu, pendapatan PLN juga naik dari Rp346 triliun pada 2020 menjadi Rp487 triliun pada 2023. 

Sedangkan laba bersih PLN juga terus meningkat dari Rp5,9 triliun pada 2020 menjadi Rp22,1 triliun pada 2023. “Operating revenue kami naik sementara pembayaran utang tahunan bisa kami turunkan,” jelas Darmawan. 

Menurut dia, hal itu menggambarkan kondisi keuangan PLN semakin sehat. Apalagi rasio pendapatan perusahaan dibandingkan utangnya menjadi semakin besar. 

Dengan kondisi tersebut, Darmawan mengklaim kinerja keuangan PLN menjadi yang terbaik dalam sejarah perusahaan listrik tersebut. “Ini berkat pertumbuhan pendapatan yang sangat sehat, laba berjalan yang meningkat, ditambah berkurangnya liabilitas utang,” tukasnya. 

Darmawan Prasodjo menahkodai perusahaan BUMN tersebut sejak 6 Desember 2021 lalu. Di era Darmawan ini juga, terdapat kasus dugaan korupsi disidik Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung (Kejagung).

Adalah KPK menyidik kasus dugaan korupsi royek PT PLN Unit Induk Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) tahun 2017-2022 dan kasus dugaan korupsi pengadaan tower transmisi PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) pada 2016 yang hingga saat ini masih nihil tersangka oleh Kejaksaan Agung.

Diberitkan, Darmawan belum lama ini dikabarkan mencopot 6 anak buahnya. Karyawan Adji, Muhammad Reza, Agung Nugraha Putra, Abdul Muchlis, Eric Rossi Priyo Nugroho, dan Maria I Gunawan.

PLN ini merupakan salah satu BUMN yang memiliki peran strategis, karena itu harus dipimpin orang yang memahami dan mengerti urat nadi tentang manajemen dan sistem kelistrikan, serta bagaimana memahami berbagai aspek di dalamnya.

Karena itu sudah seharusnya ada perubahan pola di Kementerian BUMN ini nantinya dalam menetapkan Dirut, sehingga bukan sekadar jadi jatah politik.
Lantas siapa yang memahaminya, jelas kalangan internal sendiri, bukan lagi-lagi dari eksternal. 

“Saya yakin, sangat banyak sosok yang memiliki leadership di PLN apalagi itu rumah bagi mereka sebagai pegawai sejak awal berkarir,”  kata Koordinator Nasional Relawan Listrik Untuk Negeri (Re-LUN), Teuku Yudhistira di Jakarta, Rabu (16/10/2024) lalu.

Menunjuk dan menetapkan posisi Dirut PLN sebagai salah satu jabatan politis, memang menjadi hak Menteri BUMN melalui rapat umum pemegang saham (RUPS) jajaran Komisaris di institusi tersebut. 

Namun, alangkah baiknya segala masukan positif dari berbagai kalangan, bisa menjadi pertimbangan pemilik kekuasaan.

Menteri BUMN Erick Thohir sempat mengungkapkan penyebab utama PLN sampai mencatatkan utang jumbo, salah satunya, Proyek Pembangkit Listrik 35.000 megawatt (MW). Hingga Agustus 2021, proyek ini baru mendekati 30 persen dengan 10.469 MW yang telah dilakukan commercial operation date (COD). 

Megaproyek listrik 35 ribu MW itu sebelumnya diproyeksikan akan selesai pada 2019 namun pemerintah merevisi jadi tahun 2025 ini. Pun, adanya pandemi Covid-19 ditambah dengan proyeksi listrik yang baru sekitar 6000 MW, megaproyek tersebut rawan akan kembali molor ke tahun 2029. 

Di sisi lain, Ketua Harian Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang menyoroti mahalnya harga listrik. Biaya investasi dan produksi di Indonesia yang jauh lebih tinggi dibanding negara lainnya dinilai menjadi penyebab mahalnya harga listrik di tanah air.

“Harga lahan tiba-tiba melonjak saat akan dibebaskan. Belum lagi biaya dana (cost of fund) di sini mahal sekali. Di sana cuma dua persenan. Di sana juga pengusaha dapat free tax, sedangkan di sini masih ada pajaknya dan sebagainya,” kata Arthur.

Menurut Arthur, harga listrik energi baru terbarukan (EBT) di beberapa negara di Uni Emirat Arab memang akan lebih murah dibanding harga listrik EBT yang dijual di Indonesia.

Harga listrik EBT di UEA dijual di kisaran 2,25 sen per KWH hingga 2,99 sen per KWH. Solar tenaga matahari 150 MW dijual dengan harga 2,99 sen per KWH, dan 200 MW 2,42 sen per KWH. Sedangkan di Indonesia, harga listrik EBT dipatok di kisaran 15 sen per KWH hingga 18 sen per KWH.

Arthur mengatakan proses perizinan dan birokrasi yang panjang dan memakan waktu yang lama membuat harga listrik di tanah air sulit bersaing dengan negara lain. “Lamanya perizinan ini kan biaya juga, kita dibayang-bayangi ketidakpastian,” kata dia.

Menurut Arthur, pengusaha di sana juga mendapat kesempatan membangun pembangkit dalam skala besar. Sehingga investasinya lebih efisien. Selain itu, biaya logistik di Indonesia juga lebih mahal. Sebab infrastruktur belum memadai dan kondisi alam di Indonesia sangat berat.

“Biaya logistik kita di Indonesia ini kan yang tertinggi di ASEAN. Yakni, 29 persen dari produk domestik bruto (PDB). Tingginya biaya logistik membuat biaya kita membangun infrastruktur listrik sangat tinggi,” ungkap Arthur. (MonitorIndonesia)

About The Author

Bagikan

By K

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *