
JAKARTA, IKNPOST – Direktur Advokasi dan Kebijakan De Jure Awan Puryadi menyoroti kewenangan baru bagi jaksa dalam Revisi Undang-Undang Kejaksaan untuk melakukan penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset tindak pidana melalui pembentukan Badan Pemulihan Aset.
Menurutnya, kewenangan baru tersebut tidak diikuti dengan penguatan pengawasan. Sementara, belum lama ini ada jaksa yang terjerat korupsi terkait hasil rampasan aset di kasus robot trading.
Selain itu, Awan juga menyoroti penambahan fungsi intelijen bagi Kejaksaan. Menurutnya penambahan kewenangan itu sangat berbahaya dalam konteks penegakan hukum dan demokrasi.
Kewenangan itu dikhawatirkan akan disalahgunakan jaksa untuk memanggil pihak-pihak tertentu tanpa proses penyelidikan. Sementara perbuatan itu tidak akan bisa digugat ke praperadilan lantaran bukan dalam proses penegakan hukum.
“Pernah kejadian, sebanyak 43 guru honorer yang jadi PNS diundang oleh kejaksaan Padang Sidempuan karena diduga ada informasi korupsi. Bupati, tiba-tiba dipanggil hanya berdasarkan informasi. Bisa jadi seperti itu,” kata Awan, Jumat (21/3/2025).
Tak hanya itu Awan juga turut menyoroti kewenangan penghentian kasus di luar proses pengadilan atau restorative justice (RJ). Tanpa ada pengawasan yang jelas ia khawatir kewenangan itu justru disalahgunakan untuk memainkan kasus.
“Bisa jadi, Kejaksaan mengulik kasus, kemudian dengan alasan tertentu diberhentikan dengan alasan RJ. Lalu bagaimana dengan kasus illegal mining, misalnya, kemudian dihentikan dengan alasan RJ,” tuturnya.
Di lain sisi, Awan mengkritik definisi Kejaksaan dalam UU Nomor 11 Tahun 2021 yang tidak diubah. Pasalnya dalam UU tersebut definisi Kejaksaan melampaui pembagian kekuasaan yaitu Lembaga Pemerintah (eksekutif) yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman (yudikatif).
“Kekuasaan Kehakiman itu independen dan berada di yudikatif. Sementara, Kejaksaan itu Lembaga Pemerintah yang ada di kekuasaan eksekutif. Ini yang keliru dan berbahaya bagi demokrasi dan sistem hukum kita,” ungkapnya.
Kondisi itu menurutnya juga bisa menimbulkan imunitas bagi anggota kejaksaan. Ia mencontohkan dalam kasus Pinangki misalnya, Jaksa Agung pernah mengeluarkan peraturan untuk memberikan pendampingan hukum, karena dianggap sedang melaksanakan tugas kejaksaan.
“Dalam UU Kejaksaan Tahun 2021, imunitas langsung legal, sah. Harusnya imunitas ini diberikan oleh yudikatif. Ini problem karena kejaksaan memberikan imunitas pada dirinya sendiri,” tandasnya.
Jaksa bisa kebal hukum?
Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak), Pujiyono Suwadi, memastikan RUU Kejaksaan dipastikan tidak akan membuat jaksa kebal hukum, abuse of power apalagi mengambil peran penyidik di kepolisian.
Pujiyono Suwadi menerangkan, setelah RUU terkait perubahan kedua atas UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan dan RUU perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, bertujuan untuk lebih melayani para pencari keadilan, melindungi dan menjaga demokrasi.
“Ada dua kekhawatiran yang dimunculkan oleh pihak tertentu. Yakni jaksa dianggap mengambil peran penyidik dan dituduh punya hak imunitas. Tuduhan-tuduhan tak benar. Coba baca dan pahami pasalnya. Jadi revisi bertujuan untuk lebih melayani para pencari keadilan, melindungi dan menjaga demokrasi. Juga mencegah penegak hukum jadi alat politik,” kata Pujiyono Suwadi.
Dia pun menekankan revisi itu tidak memiliki pasal yang mengatur mengenai pengambilalihan peran penyidik Kepolisian oleh Kejaksaan dalam UU Kejaksaan.
Kata dia, Revisi ini hanya mendorong ditingkatkanya koordinasi dan supervisi dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagai bagian dari Integrated Criminal Justice System (ICJS).
Sedangkan terkait tuduhan revisi juga dianggap memberikan kekebalan hukum bagi jaksa atau hak imunitas karena dengan aturan baru dan seorang jaksa tidak bisa diperiksa tanpa izin dari Jaksa Agung, menurut Pujiyono tidak seperti itu.
“Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung. Itu ada sejak UU sebelumnya”.
Tidak ada abuse of power. Buktinya kemarin-kemarin jaksa yang melakukan kesalahan atau tindak pidana tetap bisa dihukum atau bisa dipenjara,” katanya menambahkan.
Revisi UU yang masuk Prolegnas 2025 tersebut juga dikatakan Pujiyono justru akan membuat Kejaksaan Agung di bawah kepemimpinan ST Burhanuddin tambah gesit menyikat kasus-kasus merugikan negara.
Senayan bicara
Komisi III DPR RI yang membidangi hukum, hak asasi manusia, dan keamanan tak menutup celah membahas Revisi Undang-Undang (RUU) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan.
Bahwa Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai NasDem Rudianto Lallo menyatakan, pihaknya siap untuk membahas hal itu bila dianggap perlu dan mendesak.
“Tentu kalau dipandang mendesak juga dibahas RUU Kejaksaan, RUU kepolisian kita siap saja di komisi III untuk membahas itu,” kata Rudianto Lallo
Komisi III DPR sedang fokus untuk menggodok RUU mengenai Perubahan UU Kitab Hukum Acara Pidana (UU KUHAP) yang rencananya ditargetkan rampung dan disahkan menjadi UU pada Oktober 2025.
Di sisi lain, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa DPR belum menerima Surat Presiden tentang rancangan undang-undang, atau revisi Undang-Undang Polri maupun Kejaksaan. “Saya tegaskan, bahwa DPR belum menerima supres tentang rancangan undang-undang, atau revisi rancangan undang-undang polri,” tegas Dasco. (MonitorIndonesia)