Jimly: Ada masalah dalam saluran aspirasi rakyat melalui sistem perwakilan

JAKARTA, IKNPOST.ID – Langkah Presiden Prabowo membentuk Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian merupakan bukti negara merespons aspirasi publik agar Polri lebih akuntabel dan berpihak ke rakyat sekaligus mendorong penguatan demokrasi. Namun terlepas dari itu, Ketua Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian RI, Prof. Jimly Asshidiqie juga menyoroti bahwa selain juga ada lembaga lain yang memerlukan atensi untuk dilakukan evaluasi terutama di ranah komunikasi kepada rakyat.
“Tapi jangan terbatas hanya kepada soal itu, soal polisi. Polisi ini hanya kena getah, karena dia di berada di depan. Tapi yang juga harus diberi perhatian khusus itu DPRD. Banyak kantor DPRD hancur di Makassar itu DPRD Provinsi dan DPRD Kota hancur gitu kan. dan di banyak tempat lagi.” ucap Prof. Jimly Asshidiqie, yang hadir sebagai pembicara utama dalam acara Exclusive Talks Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII), pada Minggu (14/12/2025).
Jimly mengambil contoh dari beberapa anggota DPR yang menjadi korban sasaran amukan massa belum lama ini.
“Nah, lalu anggota DPR kan ya ini hanya korban saja kena getah, misalnya Uya kuya. Nah, satu lagi Eko Patrio hanya gara-gara joget cuma karena dia terkenal dia yang diobrak-abrik di medsos. Iya kan? Dan itu memicu penjarahan rumahnya dia. Terus kenapa Nafa Urbach itu kan cuman salah ngomong sedikit. Ditanya wartawan, “Kenapa kamu yang ngueng-ngeng?” Ya, itu macet jalan macet. Jadi dikesankan dia sombong gitu. Nah, lebih-lebih Ahmad Sahroni karena memang kata-katanya agak sombong, maka empat orang ini dijarah habis rumahnya.” sambungnya.
Ia menyebut hal ini terjadi dikarenakan adanya masalah dalam penyerapan aspirasi rakyat yang harus dievaluasi.
“Nah, kalau kita lihat ya ini ada masalah dalam sistem penyerapan aspirasi rakyat. Ada masalah dalam saluran aspirasi rakyat melalui sistem perwakilan. Enggak jalan, Aspirasi tersumbat gitu. Nah, maka yang harus dievaluasi ini ya bukan cuma polisi” tambahnya.
Jimly menganggap hal ini mempengaruhi pengambilan keputrusan di DPR yang dinilai tidak berjalan substansif.
“Lembaga perwakilan dan permusyawaratan kita selama ini dia hanya “yuk kumpul-kumpul” tok tok tok ngambil keputusan, misal Undang-Undang Ciptaker, selesai ya 100 hari ya besok khusus aja ketua-ketua fraksi saling telepon WA “eh sudah cukup nih” tok. Jadi partisipasi publik yang bermakna dan substantif itu enggak jalan. Seolah-olah kalau sudah hasil pemilu, sudah dapat mandat kedaulatan rakyat.” ucapnya.
Ketua Komisi Reformasi Polri itu mengkritisi Sistem kelembagaan Dewan Perwakilan rakyat yang seharusnya juga melibatkan partisipasi publik dalam membuat kebijakan.
“Yang lain-lain enggak dengar tiba-tiba kaget. Loh sudah ada undang-undang. Padahal undang-undang itu akan menambahi beban kewajiban bagi warga dan mengurangi hak-hak mereka sebagai warga. Maka tidak bisa kita tidak melibatkan suara publik.” tegasnya. (K)
