
JAKARTA, IKNPOST.ID – Majelis Hakim Konstitusi memberi tafsir mengenai jangka waktu penggunaan Hak Atas Tanah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara (UU IKN). Dalam Putusan ini, MK memberikan tafsir mengenai siklus Hak Atas Tanah (HAT), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) dalam UU IKN.
“Menyatakan Pasal 16A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Dalam hal HAT yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) dalam bentuk hak guna usaha, diberikan hak, paling 318 lama 35 (tiga puluh lima) tahun; perpanjangan hak, paling lama 25 (dua puluh lima) tahun; dan pembaruan hak, paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi’,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan Amar Putusan Nomor 185/PUU-XXII/2024 dibacakan pada Kamis (13/11/2025) di Ruang Sidang Pleno MK dikutip dari MKRI.id.
Suhartoyo melanjutkan Pasal 16A ayat (2) UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Dalam hal HAT yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) dalam bentuk hak guna bangunan, diberikan hak, paling lama 30 (tiga puluh) tahun; perpanjangan hak, paling lama 20 (dua puluh) tahun; dan pembaruan hak, paling lama 30 (tiga puluh) tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi”. Kemudian, ia juga menyampaikan Pasal 16A ayat (3) UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Dalam hal HAT yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) dalam bentuk hak pakai, diberikan hak, paling lama 30 (tiga puluh) tahun; perpanjangan hak, paling lama 20 (dua puluh) tahun; dan pembaruan hak, paling lama 30 (tiga puluh) tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi”.
“Menyatakan Penjelasan Pasal 16A ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara 319 Republik Indonesia Nomor 6766) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Suhartoyo membacakan putusan yang diajukan oleh Stephanus Febyan Babaro yang berasal dari suku Dayak. Sebelumnya, Pemohon uji materi Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara (UU IKN). Pengujian ini berfokus pada pengaturan Hak Atas Tanah (HAT) yang mencakup Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai di wilayah Ibu Kota Nusantara.
Ambigu
Terkait Pemohon yang menguji Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 dan Penjelasannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan terdapat ketidaksesuaian Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 dan Penjelasannya. Hal ini karena norma Pasal a quo menentukan bahwa HAT—dalam hal ini HGU—diberikan melalui 1 (satu) siklus dan dapat dilakukan pemberian kembali untuk 1 (satu) siklus kedua. Pemberian HAT melalui satu siklus tersebut menimbulkan kesan seolah-olah HGU langsung diberikan selama 95 (sembilan puluh lima) tahun. Sementara itu, Penjelasan Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 menyatakan pemberian HAT secara bertahap diatur masing-masing tahapan tersebut dalam Penjelasan Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023.
“Sehingga hal demikian menimbulkan norma yang ambigu yang berpeluang disalahartikan, sekalipun terdapat ketentuan yang menyatakan pemberiannya didasarkan pada kriteria dan tahapan evaluasi. Sebab, persoalannya terletak pada perumusan norma pokok yang menentukan atau menggunakan frasa melalui 1 (satu) siklus dan dapat diberikan kembali untuk 1 (satu) siklus kedua, yang menurut Mahkamah maknanya sama dengan memberikan batasan waktu yang sekaligus, yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21- 22/PUU-V/2007,” ucap Enny.
Terlebih, sambung Enny, ditentukan pula dalam norma Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 jumlah waktunya adalah 95 (sembilan puluh lima) tahun untuk 1 (satu) siklus pertama HGU dan dapat dilakukan pemberian kembali untuk 1 (satu) siklus kedua dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun, yang apabila diakumulasi dari kedua siklus tersebut menjadi 190 tahun.
“Ketentuan ini tidak sejalan atau memperlemah posisi negara dalam menguasai HAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Setelah Mahkamah mencermati Penjelasan Umum UU 21/2023 dinyatakan bahwa salah satu maksud perubahan UU 3/2022 pada pokoknya untuk melakukan pengaturan jangka waktu HAT yang kompetitif,” ujar Enny.
Enny menambahkan pengaturan ini merupakan aturan khusus (lex specialis) mengenai jangka waktu HAT yang berlaku terbatas hanya di IKN, di mana ketentuan mengenai jangka waktu HAT ini merupakan upaya menciptakan peningkatkan daya tarik investor sehingga tertarik untuk menanamkan modal di IKN. Dalam konteks ini, Mahkamah dapat memahami upaya pemerintah untuk meningkatkan daya tarik investor namun demikian peraturan yang bersifat khusus, terlebih di bawah Konstitusi tidak boleh bertentangan dengan prinsip yang ditentukan dalam Konstitusi, dalam hal ini hak menguasai negara, sehingga melemahkan negara dalam menjalankan kedaulatan negara.
“Dalam kaitan ini, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa pengaturan mengenai HAT merupakan salah satu bagian dalam menunjang daya tarik investor, namun demikian di sisi lain hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah bagaimana dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif dalam berbagai aspek berdasarkan Konstitusi, termasuk di dalamnya adalah mewujudkan kepastian hukum, menegakkan hukum secara berkeadilan, dan memangkas rantai birokrasi yang berbelit, serta ekonomi berbiaya tinggi,” sebut Enny.
Enny menambahkan, adanya Penjelasan Umum yang menegaskan mengenai kekhususan jangka waktu HAT di IKN dapat dinilai sebagai bentuk diskriminasi terhadap upaya mendatangkan investasi di daerah lain yang seharusnya berlaku sama untuk setiap daerah dengan mendasarkan pada UU 25/2007 yang telah dimaknai oleh Mahkamah.
“Oleh karena itu, dalam rangka menciptakan kepastian hukum dimaksud justru dengan adanya penggunaan frasa melalui 1 (satu) siklus pertama dan dapat diberikan kembali untuk 1 (satu) siklus kedua dalam norma Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023, tidak sejalan dengan upaya pemerintah dimaksud. Sebab, frasa dalam norma a quo tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan bidang pertanahan dan UU 25/2007 yang telah dimaknai oleh Mahkamah tersebut,” tegasnya.
Proses Perizinan
Terlebih lagi, dalam konteks pemberian HAT yang digunakan di IKN berdasarkan Pasal 16A UU 21/2023 pada hakikatnya adalah juga bagian dari ihwal penanaman modal (investasi), baik modalnya dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Oleh karena itu, UU 25/2007 sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah sudah tepat menjadi rujukan dalam pengaturan penggunaan HAT untuk penanaman modal, termasuk dalam hal ini untuk kepentingan penanaman modal di IKN. Apalagi, dalam kaitan ini, Mahkamah telah menegaskan adanya kemudahan pelayanan dan/atau perizinan HAT yang dapat diberikan dan diperpanjang dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal (investor), sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Berkenaan dengan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan dimaksud, UUPA pada pokoknya menentukan bagi perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan HGU paling lama 35 tahun, dan atas permintaan pemegang hak dan mengingat kondisi usaha maka jangka waktu dapat diperpanjang paling lama 25 tahun.
“Namun, dalam upaya untuk mendukung iklim penanaman modal yang kondusif dengan tetap menjalankan amanat UUD NRI Tahun 1945, Mahkamah dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-V/2007 telah menegaskan selain diberikan hak dan diperpanjang hak, HAT juga dapat diperbarui atas permohonan pemegang hak. Artinya, dalam hal ini untuk HGU dapat diberikan dan diperpanjang hak dan dapat diperbarui kembali hak dimaksud. Dengan demikian, terdapat tiga tahapan proses, namun bukan sekaligus sebagaimana rumusan frasa melalui 1 (satu) siklus pertama dan dapat diberikan kembali untuk 1 (satu) siklus kedua dalam norma Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023,” jelas Enny.
Tak Ada Dua Siklus
Enny menambahkan berkenaan dengan persyaratan perpanjangan atau pembaruan telah diatur dalam UU 21/2023 yang dimaksudkan sebagai instrumen untuk mengevaluasi penggunaan HAT tatkala akan diperpanjang atau diperbarui. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUUV/2007 dalam amar putusan pada pokoknya juga telah menegaskan mengenai syarat sebagai kriteria untuk pemberian hak, perpanjangan atau pembaruan hak dimaksud. Dalam hal ini, syarat atau kriteria untuk mengevaluasi dalam rangka memberikan, memperpanjang atau memperbarui HAT tersebut jika disandingkan secara substansi esensinya adalah sama, bertujuan agar tanah tersebut tetap dikelola sesuai dengan tujuan diberikannya HGU, yang pada akhirnya bermuara pada tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Dalam kaitan ini, sambung Enny, Penjelasan Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 menjelaskan masing-masing-masing jangka waktu untuk pemberian HGU dengan tahapan: 1) pemberian hak, paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun; 2) perpanjangan hak, paling lama 25 (dua puluh lima) tahun; dan 3) pembaruan hak, paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun.
“Setelah Mahkamah mencermati secara saksama, substansi Penjelasan Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 dan praktik yang diterapkan dalam pemberian HGU telah mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-V/2007 dengan adanya tahapan pemberian, perpanjangan, dan pembaruan hak, dalam upaya mendukung pengembangan investasi di Indonesia, tanpa harus menggunakan rumusan frasa melalui 1 (satu) siklus pertama dan dapat diberikan kembali untuk 1 (satu) siklus kedua,” tandas Enny.
Dengan demikian, lanjut Enny, untuk mewujudkan desain keharmonisan antara norma batang tubuh dengan penjelasan dan antarperaturan perundang-undangan agar dapat menciptakan kepastian hukum sebagai salah satu aspek penting memberikan daya tarik bagi investor menamankan modalnya dan mengembangkan IKN sesuai dengan maksud diubahnya UU 3/2022 melalui UU 21/2023, maka frasa melalui 1 (satu) siklus pertama dan dapat diberikan kembali untuk 1 (satu) siklus kedua dalam norma Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Dalam hal HAT yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) dalam bentuk hak guna usaha, diberikan hak, paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun; perpanjangan hak, paling lama 25 (dua puluh lima) tahun; dan pembaruan hak, paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi”.
“Artinya, batasan waktu paling lama 95 (sembilan puluh lima) tahun dimaksud dapat diperoleh sepanjang memenuhi persyaratan selama memenuhi kriteria dan tahapan evaluasi. Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 adalah beralasan menurut hukum. Dengan adanya pemaknaan Mahkamah terhadap Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 tersebut, maka sebagai konsekuensi hukumnya Penjelasan Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 dengan sendirinya menjadi tidak diperlukan lagi karena sudah menjadi bagian dari norma Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah tersebut di atas, sehingga penjelasan dimaksud harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” tandas Enny.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan terdapat dua regulasi berbeda mengenai jangka waktu HGU, HGB dan Hak Pakai yaitu dengan diberlakukan Pasal 16A ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU IKN dan aturan sama terdapat dalam Pasal 9 Perpres Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Selain itu, Pemohon mengungkapkan bahwa UU IKN dan Perpres Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN tidak mengatur secara jelas pihak-pihak yang berhak memiliki HGU, HGB, dan Hak Pakai. Hal ini, menurutnya, membuka peluang bagi pihak asing untuk menguasai tanah di IKN dalam jangka waktu yang sangat panjang. Pemohon menegaskan bahwa pemberian hak atas tanah dengan durasi yang terlalu lama dapat mengorbankan kepentingan generasi mendatang.(Humas MKRI)
